PROLOG
Tim RSA yang terdiri atas Ecko dan Edo, mendapat amanat dari Dewan Presidium (DP) RSA mengikuti Workshop Manajemen Keselamatan Transportasi Darat, pada Kamis (27/11), di lantai 21, Hotel Sahid Jakarta. Workshop yang digelar Dirjen Perhubungan Darat, Direktorat Keselamatan Transportasi Darat, Dephub itu menyajikan dua topik yakni pertama, Manajemen prioritas studi kasus lajur khsusus sepeda motor, dan kedua, Kebijakan teknis penggunaan sepeda motor.
Edo menyampaikan beberapa poin terkait upaya menertibkan perilaku pengendara sepeda motor yang dianggap sebagai biang karut marutnya lalu lintas. Lajur sepeda motor belum sepenuhnya menuntaskan perilaku yang tidak santun dan menghilangkan sama sekali angka kecelakaan di jalan raya yang melibatkan sepeda motor. Prioritas utama adalah menumbuhkembangkan perilaku yang santun. Karena itu edukasi harus dikembangkan secara formal dan informal. Edukasi bukan saja bagi pengendara motor, namun juga terhadap seluruh pengguna jalan raya. Di sisi lain, penegakan hukum hendaknya dilakukan secara serius dan berkesinambungan. Jangan bersifat angin-anginan. Upaya melibatkan ATPM sebagai pihak yang memetik keuntungan dari bisnis sepeda motor merupakan hal mutlak. ATPM harus diajak secara aktif meningkatkan kesadaran konsumen untuk berperilaku yang tidak ugal-ugalan. Salah satunya adalah dengan memberi informasi yang benar mengenai safety riding.
Hadir sebagai pembicara adalah Prof Dr Ir Harnen Sulistio, guru besar Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Guru besar Unibraw itu juga membawa tim yang membantunya menjelaskan hasil penelitian mereka.
Sementara itu, sebagai moderator adalah Bapak Suripno, direktur Keselamatan Transportasi Darat, Dephub.
Berikut ini adalah catatan dari workshop yang digelar mulai pukul 09.30 hingga 12.10 WIB tersebut.
———————————————-
Serius, Penggodokan Lajur Bagi Sepeda Motor
Belakangan ini, pemerintah melalui departemen perhubungan (dephub) terlihat serius menggodok rancangan untuk mengimplementasikan lajur khusus bagi sepeda motor. Hal itu terlihat dalam workshop Manajemen Keselamatan Transportasi Darat, Kamis (27/11), di Jakarta. Pemrasaran dari Universitas Brawijaya, Prof Dr Ir Harnen Sulistio memaparkan Pedoman Manajemen Prioritas Studi Kasus Lajur Khusus Sepeda Motor.
Sementara itu, tim Prof Harnen memaparkan Studi Kebijaksanaan Teknis Penggunaan Sepeda Motor serta Pradesain Lajur Khusus Sepeda Motor.
Prof Harnen bahkan membeberkan hasil penelitiannya selama tiga tahun di Malaysia.
Workshop tersebut tampaknya rangkaian dari Rapat Konsultasi “Peningkatan Kepatuhan dan Budaya Tertib Berlalu Lintas bagi Pengguna Sepeda Motor”, pada Selasa (4/11). Tidak tanggung-tanggung, rapat tersebut digelar di Sekretariat Wapres, di Jakarta. Rapat yang dipimpin Deputi Sekretaris Wakil Presiden Bidang Politik itu dihadiri oleh berbagai instansi yakni perwakilan Ditjen Hubdat Dephub, Kepolisian, BPPT, Universitas Indonesia, LIPI, Deperin, dan Dishub Provinsi DKI Jakarta.
Sudah demikian parahkah perilaku pengguna sepeda motor sehingga Wapres turun tangan? Mari kita tengok sejenak pemaparan Prof Harnen.
“Kualitas budaya suatu masyarakat dapat terlihat dari cara berlalu lintas.” Penggalan kalimat Prof Harnen itu menjadi pembuka untuk menelusuri kenapa lahir gagasan harus membuat lajur khusus sepeda motor.
Menurut professor yang meraih gelar Doktor (S3) bidang studi Highway and Trans Eng di Universitas Putra Malaysia pada 2004 itu, dari hasil penelitian di Surabaya, Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Kota Batu, Jawa Timur (Jatim), mencuat pernyataan bahwa para pengendara sepeda motor menganggap perlu ada lajur sepeda motor untuk menekan angka kecelakaan di jalan raya. Berkendara di lajur sepeda motor lebih aman, nyaman, tertib, teratur, meningkatkan keselamatan, serta mengurangi kemacetan. Selain itu, jika tujuan penerapan lajur motor tercapai maka masyarakat akan merasakan manfaatnya. Penerapan lajur sepeda motor dalam menurunkan jumlah kecelakaan dinilai cukup efektif. “Jenis lajur bias berupa lajur khusus atau eksklusif atau tidak khusus,” papar pria yang pernah mengikuti Pilkada Bupati Blitar pada 2006.
Terkait penerapan di Jakarta, kata dia, sudah saatnya dilakukan ujicoba. Jika tidak bisa dipaksa dalam jarak yang panjang, ruas lajur sepeda motor bisa dibuat sepotong-sepotong. “Paling tidak kita bisa memisahkan walau sesaat. Hal itu mengingat roda dua tidak konventible dengan roda empat, terlebih dengan truk besar,” tegasnya.
Menurut Suripno, ujicoba untuk menekan penurunan kecelakaan di jalan raya ditetapkan di DKI Jakarta, upaya yang dilakukan salahsatunya termasuk implementasi lajur khusus. “Upaya ini diharapkan melibatkan seluruh stake holder. Melalui RSA kita ubah paradigma masyarakat bahwa keselamatan dapat diwujudkan melalui usaha. Kecelakaan karena kelalaian kita, bukan takdir bahwa di dalamnya ada takdir karena sudah bersikap hati-hati hal itu bisa saja,” ujar Suripno.
Prof Harnen yang merupakan Guru Besar Universitas Brawijaya memaparkan bahwa berdasarkan penelitian di Surabaya dan Malang, lebar lajur sepeda motor harus nyaman untuk pengendara melakukan manuver. Di sisi lain, jelasnya, perlu dikaji kebutuhan atau potensi yang ada, hal ini terkait dengan manfaat yang diperoleh dibandingkan investasi. Selain itu, perlu sosialisasi yang di antaranya diarahkan kepada masyarakat dan pelaku aktivitas di lokasi lajur sepeda motor.
Jakarta pernah menerapkan lajur sepeda motor pada 2007. Pemberlakuan lajur kiri sebagai ruas berlalulalangnya sepeda motor berlaku pada jam tertentu, namun tidak berlangsung lama. Menurut Kompol Wiwik, dari Polda Metro Jaya, pihaknya bakal menggencarkan penerapan lajur sepeda motor pada 2009. “Kami akan menerapkan dua lajur di sisi kiri jalan yakni untuk sepeda motor dan angkutan umum. Bagi angkutan umum terkait dengan menaikkan dan menurunkan penumpang,” katanya di sela tanya jawab dengan Prof Harnen.
Sementara itu, terkait desain lajur sepeda motor itu sendiri, menurut Prof Harnen, lebarnya sekitar 3 meter dengan pemisah yang bisa berupa pagar pembatas, taman, atau garis lurus. Tergantung situasi lahan yang tersedia. Terkait volume kendaraan, lajur sepeda motor pada ruas jalan diperlukan apabila volume kendaraan mencapai sekitar 850 kendaraan/jam/lajur.
Menimpali masukan dari RSA, Prof Harnen menegaskan, edukasi dan penegakan hukum hendaknya dijalankan simultan karena bisa menjadi obat mujarab untuk jangka pendek dalam menekan angka kecelakaan di jalan raya. Edukasi dipilah yakni ada yang masuk dalam kurikulum sekolah dan gerakan penyuluhan mengenai dampak kecelakaan terhadap kemiskinan. Ia mencontohkan, seorang tulang punggung ekonomi keluarga yang tewas akibat kecelakaan bisa mempengaruhi kondisi ekonomi suatu keluarga.
Sedangkan mengenai lajur khusus adalah aspek engineering. “Kami sepakat edukasi dan penegakan hukum. Tanpa hukum yang tegas, mustahil lalulintas bisa tertib. Negara jiran tegas, Eropa juga. Denda yang tinggi bagi pelanggar seperti penggunaan sealbelt dan pengaturan kecepatan berlebihan hal ini perlu dipertimbangkan untuk memberi efek jera,” katanya.
Bagi Prof Harnen, kecelakaan itu bisa diprediksi dan bisa dicegah.
Terkait industri/ATPM, ia menilai, iklan yang menawarkan suatu produk motor memiliki kecepatan luar biasa juga harus diubah. “Jangan menonjolkan kecepatan. Harus selaras dengan program safety. Iklan televisi juga harus gencar kampanyekan safety riding,” paparnya.
Berdasarkan simulasi keterkaitan kecepatan dengan kecelakaan sepeda motor, Harnen menuturkan, setiap penambahan kecepatan 10 km/jam bakal membuka peluang penambahan kecelakaan hingga 57,30%, sedangkan setiap penambahan lebar lajur sebesar 50 cm bakal menekan angka kecelakaan hingga 29,92%.
Dalam simulasi Prof Harnen terlihat bahwa kecepatan ideal sepeda motor di dalam kota adalah maksimal 40 km/jam.
Beberapa program aksi yang direkomendasikan mencakup pelibatan pemangku kepentingan, meningkatkan pengusaha industri sepeda motor, perbaikan perilaku melalui pendidikan, perbaikan sistem pemberian surat izin mengemudi (SIM), peningkatan kejelasan pandangan pengendara sepeda motor serta penggunaan pakaian pelindung. Selain itu, penegakan hukum dan mengembangkan fasilitas bagi pengguna sepeda motor.
Pentingnya aksi secara terintegrasi diharapkan mampu menekan angka kecelakaan sepeda motor dan membuat lalulintas tidak semrawut lagi.
Seperti dituturkan Prof Harnen, kecelakaan sepeda motor berdampak kepada pemiskinan masyarakat. “Berdasarkan penelitian, kecelakaan lalu lintas di jalan raya berpeluang memiskinkan masyarakat. Di Indonesia, dampak kecelakaan memiskinkan masyarakat mencapai 62,5%. Dampak kecelakaan memiskinkan masyarakat masih belum difahami,” tutur Harnen.
Ia menambahkan, di India bahkan dampaknya mencapai hingga 67%. “Jika kecelakaan bisa dicegah, pemiskinan di masyarakat juga bisa dicegah,”
ujarnya. (edo)
Keren laporannya kak