WAJAH bro Jabrik serius. Nada suaranya bergetar. Malam jelang dinihari menjadi terasa ‘hangat’.

“Maaf saya agak panas kalau ngomong soal transportasi umum. Apalagi, jalanan selalu macet dan bikin stress. Salah siapakah ini?” sergah bro Jabrik, dalam kopi darat keliling (kopdarling) Road Safety Association (RSA), di Jl Juanda, Depok, Sabtu (15/10/2011) malam.
Kopdarling adalah ajang berbagi informal antara LSM RSA Indonesia dengan kelompok masyarakat. Kegiatan tersebut digelar satu bulan sekali dengan mengusung topik soal keselamatan jalan. Sabtu itu, bertempat di basecamp SRC Depok, sebuah komunitas sepeda motor di Depok yang peduli soal keselamatan jalan. “RSA ingin berbagi masalah keselamatan jalan, kita saling mencerahkan,” tutur bro Rio Octaviano, ketua umum RSA, malam itu.
Balik lagi soal sinisme terhadap penyelenggaraan transportasi publik, pembicaraan pun melebar soal meruyaknya kendaraan pribadi. Bro Jabrik bahkan mempertanyakan apakah pemerintah berani menyetop produksi sepeda motor yang dirasakan sudah menyesaki jalan raya. Sontak, saya dan bro Rio, ketua umum RSA, mencoba berdiskusi.

Bagi saya, pemerintah secara menyeluruh memang belum becus menyediakan transportasi publik yang aman, nyaman, selamat, tepat waktu, dan terjangkau. Akibatnya, masyarakat mencari sendiri solusinya, yakni kendaraan pribadi. Termasuk, tentu saja yang amat terjangkau adalah sepeda motor.
Bro Ipank, salah satu pengurus RSA menyentil, “Kalau sepeda motor dibatasi, pemerintah harus menyediakan transportasi publik.”

Hal senada dilontarkan bro Davi dari kelompok pesepeda motor Malibu. “Pemerintah belum becus soal transportasi sehingga kendaraan pribadi nambah terus,” tukasnya.
Soal pembatasan sepeda motor, saya berpikir, menerapkan konsep zero growth alias pertumbuhan nol. Maksudnya, ada batas maksimal pembuatan sepeda motor. Missal, tahun 2012, produksi motor dibatasi hingga maksimal delapan juta unit. Lalu, bisa juga dengan konsep, produksi dibedakan antar kota. Misal, Jakarta maksimal sebanyak dua juta unit, jika produsen ingin membuat lebih dari itu, silakan lempar ke kota yang memang masih minim populasi sepeda motornya. Sekadar menyegarkan ingatan kita, di Jakarta saat ini sedikitnya ada sekitar delapan juta sepeda motor.

Nah, beranikah pemerintah membuat kebijakan seperti itu? Tentu saja bakal sulit. Maklum, ada pertimbangan aspek sosial ekonominya. Termasuk, soal penyerapan tenaga kerja dan sumbangan pajaknya. Tapi, apa iya gak ada solusi untuk mengurai kemacetan kota?

Perilaku dan Kecelakaan

Kita tahu, penyelenggara transportasi di tingkat pusat kementerian perhubungan dan di tingkat daerah tentu saja pemerintah daerah dengan organnya, dinas perhubungan. Ketika masyarakat merasa tidak mendapat pelayanan angkutan umum massal seperti diuraikan di atas, kendaraan pribadi menjadi alternatif. Ironisnya, pemakaian kendaraan pribadi yang berlebihan, khususnya sepeda motor, berbarengan dengan meruyaknya kecelakaan lalu lintas jalan. Kita tahu, di Jakarta ada belasan korban kecelakaan setiap harinya. Belum lagi korban jiwa yang mencapai rata-rata tiga orang per hari.

Persoalan kecelakaan lalu lintas jalan di Jakarta mayoritas dipicu oleh perilaku para pengguna jalan. Dalam kopdarling kali ini pun mencuat tanya jawab soal perilaku.
”Bagaimana mengimbau pengguna jalan tapi tidak menyinggung perasaannya, misal soal pemakaian helm,” tanya bro Hari dari Absolut Bikers Community (ABC), Depok.
Soal itu, menurut bro Rio, memang merupakan hal yang sulit mengajak orang untuk tertib. ”Kita coba mengingatkannya dengan memberi contoh. Dimulai dari keluarga. Memang tidak bisa instan,” katanya.
Dia mengakui, RSA melakukan pendekatan dengan ketaatan pada peraturan, etika berkendara, dan barulah soal keterampilan berkendara. ”Ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan,” tutur Rio.

Perbincangan pun mengupas berbagai aspek. Seperti misalnya, bagaimana supaya tidak terancam kriminalitas ketika berkendara di malam hari. Apakah harus melibas lampu merah demi keselamatan?
”Kalau saya, memperlambat kendaraan sambil menunggu lampu hijau terus jalan dan berhenti di sisi paling kiri jalan,” urai bro Tinus, dari Honda Vario Club (HVC) Depok.
Ya. Segudang masalah keselamatan jalan berputar pada perilaku para penggunanya. Sikap saling menghargai yang diwujudkan dengan tidak saling serobot, menjadi sebuah pakem penting dalam mewujudkan lalu lintas jalan yang aman, nyaman, dan selamat. Jangan sampai emosi merajai diri kita. Seperti pengalaman bro David dari SRC Depok. ”Suatu hari lalu lintas jalan macet, ada mobil menyimpang ke kiri, praktis motor ketutup jalannya. Lalu, saya ke kanan, saya minta agar mobil tak menutup jalan. Sopir malah bilang, kalau gak mau minggir kenapa? Kamu siapa? Saya emosi, saya toyor,” sergah dia.
Kita semua tentu tak mau keselamatan berkendara terganggu oleh perilaku yang tak terkendali. Bagaimana menurut Anda? (edo rusyanto)

 

About RSA Admin

RSA memfokuskan diri pada isu-isu pentingnya keselamatan jalan dengan menekankan ketaatan kepada peraturan lalu lintas, perilaku berkendara yang tepat dan standar minimum keterampilan berkendara.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *