PEMOTOR bersendal jepit gagal menginjak rem belakang. Jempolnya putus tergerus aspal. Dia menabrak mobil. Pemotor dan pengemudia mobil terluka.
“Saya sempat terluka, sabuk pengaman membantu saya tidak terpental menghantam kaca mobil,” urai Rini, dari kelompok pengguna mobil Axic, di Bandung, Sabtu (14/2/2012) siang.
Dia menceritakan peristiwa naas yang menimpanya beberapa tahun lalu saat saya tanya siapa yang pernah tabrakan. Dalam kecelakaan lalu lintas jalan di Jogjakarta itu, mobil Rini juga ditabrak dari belakang oleh dua motor lainnya.
Kisah Rini mencuat dalam seminar “Aku dan Clubku Tertib Lalu Lintas” yang digelar Indonesia Kijang Club (IKC) Bandung, Sabtu, di rumah makan Sari Bundo, Bandung. Hadir sekitar 30-an peserta dari berbagai klub dan komunitas otomotif kota Bandung yang terkenal juga sebagai Paris van Java. Selain IKC Bandung dan Axic, peserta lain diantaranya dari TCI, Slalom Community, Civic Ferio, dan Scooterist on The Web.
Saya hadir bersama sejumlah pengurus Road Safety Association (RSA), yakni Rio Octaviano (Ketua Umum), Lucky (Humas), Azdi (Litbang), dan Ivan, relawan RSA. Kami didaulat sebagai pembicara untuk berbagi mengenai keselamatan jalan.
“Masalah keselamatan jalan jangan dilihat parsial,” tutur Rio saat memaparkan materinya.
Bagi RSA masalah keselamatan saat berlalu lintas jalan mencakup tiga aspek penting. Pertama, ketaatan pada aturan yang ada. Kedua, perilaku berkendara yang saling menghargai. Ketiga, keterampilan berkendara yang memadai. “Kami menyebutnya Segi Tiga RSA, yakni rules, attitude, dan skill. Ketiganya tak bisa dipisahkan,” tukas Rio.
Fakta berbicara, pemicu utama kecelakaan lalu lintas jalan adalah perilaku pengendara. Tengok saja data kecelakaan untuk wilayah Bandung tahun 2011 yang setiap hari merenggut satu jiwa. Sebanyak 70% dipicu oleh perilaku pengendara. Sedangkan di wilayah Jawa Barat, pada tahun yang sama merenggut 9 jiwa per hari. Jauh lebih besar dibandingkan Jakarta yang sebanyak 3 orang per hari.
“Kami berharap seminar ini bermanfaat untuk kita saling berbagi soal keselamatan jalan,” ujar Lingga, wakil ketua IKC Bandung.
Respons peserta seminar cukup antusias. Sejumlah pertanyaan pun mengalir. Nugi misalnya, dia bertanya bagaimana menentukan siapa yang salah saat tabrakan beruntun? Atau, Damar yang menyodorkan perilaku pengendara melaju pelan tapi di lajur kanan. “Bagaimana menyikapinya?” Tanya dia.
Atau, Ilham yang menanyakan soal penggunaan lampu hazard saat bermobil.
Rio mengingatkan bahwa pemakaian lampu hazard bisa membingungkan pemakai jalan yang lain. Kedua lampu sein yang menyala bersamaan membingungkan, apakah mau belok kanan atau kiri.
Soal tabrakan beruntun, Rio mengajak para peserta seminar agar menjaga jarak saat berkendara. Dia mengimbau agar tidak berkendara menguntit (tail gaiting). “Jaga jarak dengan menggunakan jeda waktu tiga detik agar aman,” selorohnya.
Jeda waktu itu, tambahnya, untuk kesempatan pengemudi mengantisipasi dan mengambil keputusan terhadap situasi yang ada. Manuver apa yang harus dipilih dalam menghadapi situasi tertentu, misalnya, keputusan untuk mengerem kendaraan.
Saya tetap percaya bahwa konsentrasi berkendara menjadi kunci penting untuk keselamatan di jalan. Karena itu, segala kegiatan yang mengganggu konsentrasi diabaikan. Salah satunya, tak perlu berponsel saat berkendara.
Bagi RSA kegiatan bersama IKC Bandung merupakan tonggak penting untuk menularkan virus keselamatan jalan. Perjalanan dari Jakarta ke Bandung jadi terasa ringan walau harus terjebak kemacetan berjam-jam di penghujung pekan. Setelah berdiskusi sekitar dua jam, kami kembali ke Jakarta. Perjalanan masih panjang untuk membentuk budaya berkendara yang aman dan selamat. Sekadar mengingatkan, tahun 2011, setiap hari ada 86 jiwa tewas akibat kecelakaan lalu lintas jalan.
Mantaaaab.
Semoga Mewabah